Jumat, Februari 01, 2008

Soeharto, Antara Pembela Wong Cilik dan Pembunuh demokrasi


Sebagai seorang yag pernah sangat berkuasa selama lebih dari 30 tahun, di dalam dirinya terlihat watak asli kekuasaan: menakutkan tapi jg memesona. Memesona karena selama ia berkuasa, ia dianggap sebagai pemimpin yang tegas, bijak, bersedia mengambil resiko, ahli strategi ulung, sistematis, berperilaku santun ketimuran dan sebagainya.


Semua orang pasti setuju dengan kebijakan2nya tentang pelayanan kesehatan melalui puskesmas dan program SD Inpres. Dunia politik juga ”stabil”, jauh dari keributan. Kalo di jaman SD dulu kita perhatikan pemberitaan melalui TVRI, yang ada adalah berita2 tentang proses pembangunan. Soeharto dianggap berhasil melaksanakan program Keluarga Berencana. Indonesia diam2 menjadi negara contoh program pengendalian populasi dunia. Swa sembada beras? Lewat.. harga2 stabil.

Hu.. Takut...
Tapi di sisi lain, ia adalah penguasa yang menakutkan, otoriter serta tidak segan2 bertindak terhadap lawan politiknya. Pada jamannya, perbedaan politik adalah kriminal. Ia tidak hanya memonopoli kekuasaan tetapi juga memonopoli kebenaran politik.

Wajah seramnya bisa kita lihat dalam bentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) yang selalu siap bertindak apa saja demi ”ketertiban” dan ”keamanan” negara.

Pelanggaran HAM bagi para pelaku G30S/PKI dan ribuan orang tidak bersalah yang di cap PKI, aksi2 militer di Papua, Aceh, TimTim, makin melengkapi tampang seramnya. Pernah dengar Petrus (penembak misterius)? Kalu aku gak salah di pertengahan tahun 80an deh, aksi militer telah memasuki ranah sipil untuk memberi ”keamanan”. Hak hidup orang dengan tangan besi telah diakhiri tanpa proses hukum..
Hu...Takut...

Televisi Kita: ”he’s a perfect Man”
Sekarang, wajah yang menakutkan selama puluhan tahun itu menjadi lumer karena pemberitaan media yang mengangkat kisah sakit hingga meninggalnya sang mantan presiden.

Soeharto yang memiliki dua wajah tersebut di atas telah berubah menjadi tokoh besar yang seolah-olah tanpa cacat. Kebesarannya makin manjadi setelah pemerintah mengumumkan agar rakyat mengikuti masa berkabung nasional selama tujuh hari.

J Kristiadi say:
Semua itu tidak ada yang salah, namun bila bangsa ini tetap ingin menjadi bagsa yang besar, selain harus menghormati secara proposional pemimpinnya. Perlakuan yang berlebihan justru akan menimbul;kan dampak negatif karena kesalahan2 yang sangat manusiawi tidak dapat dijadikan pelajaran. Reformasi belum nyata, rakyat masih merindukan kembali ”zaman” orba (di mana harga stabil, beras murah, bensin murah, berita di tv Cuma yang baik2 saja).

Bung Fajar says: menurut saya, mereka yang ”mendewakan” soeharto adalah mereka2 yang merasa tidak nyaman dengan kondisi sekarang. Mereka juga adalah golongan2 yang terbuai dengan ketenangan (semu) yang ditawarkan orba. Politik tenang, jelas dong, yang bersuara dikit pasti udah di culik. Media cetak yang sedikit vokal dibredel, aktivis HAM yang aktif diculik, sumber berita Cuma dr TVRI (humasnya orba).
Dia adalah pemimpin yang baik, dalam artian terlepas dari caranya, dia memiliki tujuan yang baik, sehingga patut dihargai. Namun, sebagai pemimpin dia juga memakai sebagian kekuasaannya secara tidak konstitutional, harus ditindak donk.
Dia telah meninggal, sebagai orang beragama sudah sewajarnya kita memaafkan segala kesalahannya sebagai manusia.
Tapi secara hukum, jalan masih panjang dab...
(sok tau aja y, padahal pengantar ilmu hukum dapet C)

Terinspirasi dari artikel analisis politik J kristiadi (kompas cetak, 29 januari 2007)

1 komentar:

Sebuah Perjalananku mengatakan...

So..
jujur,mas fajar ikut yang mana?
yang pro atow yg kontra kalo diliat scr keseluruhan,hayo?
dilemma juga kan..